Fungsi Epinefrin dan Norepinefrin

Hormon dan neurotransmiter merupakan pesan kimia yang terlibat dalam fungsi tubuh. Kebanyakan bahan kimia yang bekerja hanya dalam satu fungsi, tetapi neropinefrin bekerja secara baik sebagai hormon dan neurotransmitter. Hormon ini sama dengan Adrenalin yang dikeluarkan oleh kelenjar adrenal yang berasal dari otak. Ini tidak mendapatkan banyak sekali perhatian seperti hormon stres kortisol ataupun baik sebagai neurotransmitter seperti dopamin dan serotonin, namun memainkan peran yang penting dalam stres dan deprersi.

Gambar 1. Neropinefrin (Farmasi-id.com)

Hormon ini sama dengan adrenalin yang hanya dikeluarkan oleh kelenjar adrenal dan berasal dari sumber otak. Fungsi hormon Norepinefrin fungsinya adalah untuk membuat seseorang tetap fokus dan terjaga selama dalam keadaan stres. Seseorang akan menjadi lebih waspada, lebih fokus dan tidak bisa tidur.

Norepinefrin membantu untuk mengalihkan aliran darah pada tempat yang tak terlalu membutuhkan untuk bagian tubuh lain yang lebih penting laig, misalkan seperti otot atau otak yang dapat membuat seseorang bisa menghadapi bahaya dengan baik.

Norepinefrin adalah suatu neurotransmitter di dalam sistem limbik di dalam otak yang dapat mengontrol emosi-emosi seperti depresi atau dalam keadaan euforia. Diantara neurotransmitter lain yang penting adalah serotonin dan juga dipamine. Kedua neurotransmitter ini pun bertanggung jawab atas terjadinya mimpi. Apabila Norepinefrin berkurang hingga tingkat tertentu, maka depresi menjadi keluhan fisik dan biokimia. Pada suatu kondisi seperti ini, antidepresan trisiklik dapat diberikan, yang dalam dua hingga tiga Minggu dapat mengurangi banyak gejala depresi.

Epinefrin dan Norepinefrin memiliki fungsi seperti, 
  • Dapat meningkatkan metabolisme, terutama dari bagian otot rangka dan jantung
  • Dapat meningkatkan denyut jantung
  • Meningkatkan tekanan darah
  • Glikogenelisis di sel hati, kemudian glukosa dilepaskan ke dalam aliran darah
  • Glikogenelisis di dalam sel-sel otot, glukosa dimetabolisme dan digunakan sebagai salah satu seumber energi
  • Lipolisis di adiposit, Asam lemak dilepaskan ke dalam aliran darah
  • Bronkodilator merupakan sebuah substansi yang dapat memperlebar luas permukaan bronkus dan bronkiolus pada paru-paru, dan dapat membuat kapasitas serapan oksigen paru-paru lebih meningkat
  • Pirau darah dari bagian organ-organ internal kulit, darah masuk kedalam bagian organ penting seperti otak, otot dan hati


Sumber :
http://kliksma.com/2015/03/fungsi-norepinefrin-noradrenalin.html
http://budisma.net/2015/05/pengertian-dan-fungsi-epinefrin-dan-norepinefrin.html

·         
Share:
Read More

α-Pyrrolidinopentiophenone Kandungan Senyawa Dalam 'Flakka'

Gambar 1. Flakka (viral.kincir.com)
Nama flakka diambil dari bahasa slang Spanyol La Flaca yang artinya wanita cantik. Senyawa yang memiliki nama kimia alpha-Pyrrolidinopentiphenone (α-PVP) ini, pun memiliki banyak nama lain yang terkenal seperti yang telah dilaporkan oleh European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction (EMCDDA), antara lain ‘Snow Blow’, ‘Crystal Love’, ‘Vanilla Sky’ dan yang lainnya. Bahkan di beberapa negara ada nama khusus yang berbeda seperti ‘Ocean Breath’ (Cyprus), ‘Guarana Coco Jumbo’ (Republik Ceko), ‘Fire Ball’ (Slovakia), ‘PV-11’ (Prancis), ‘Spellweaver’ (Britania Raya) dan lainnya.
Alfa-PVP merupakan senyawa yang tergolong psikoaktif dan memiliki efek mirip Metilendioksipirovaleron (MDPV), Methamphetamine dan Kokain. Senyawa ini bekerja dalam tubuh sebagai penghambat transporter Dopamin dan Norepinefrin. Transporter Norepinefrin (NET) berfungsi untuk re-uptake (ambilan kembali) Norepinefrin di dalam sel, sebagai suatu bentuk kontrol kadar hormon dalam tubuh.
Dopamin merupakan senyawa penting dalam proses pembentukkan hormon Norpepinefrin / Noradrenaline dalam tubuh. Norepinefrin berperan untuk mengontrol bagian-bagian otak yang bertanggung jawab terhadap keterkaitan antara pikiran dan tindakan merespons. Peningkatan kadar Norepinefrin dalam tubuh berbanding lurus dengan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, metabolisme otot, sehingga erat kaitannya dengan efek insomnia, kecemasan dan hiperaktif. Jadi Norepinefrin jika dihambat, maka kadar Norepinefrin dalam tubuh akan jadi berlebih yang menyebabkan seseorang menjadi hiperaktif. Oleh sebab itu, peningkatan hormon Norepinefrin juga berkaitan dengan gangguan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Flakka ini membuat penggunanya juga mengalami gejala delusi dan agresif berlebihan. Dan efek inilah yang sering orang sebut mirip dengan zombie, dan yang dimaksud bukanlah zombie secara harfiah.

Untuk lebih jelasnya, kandungan dalam Flakka ini dapat di khususkan di bawah ini agar lebih tahu bagaimana senyawa yang terkandung secara kimia, efek Farmakologi dan Deteksi Dalam Cairan Tubuh :
Gambar 2. α-Pyrrolidinopentiophenone (Wikipedia)
α-Pyrrolidinopentiophenone (juga dikenal sebagai α-pyrrolidinovalerophenone, α-PVP, O-2387, β-keto-prolintane, Prolintanone, atau Desmethyl Pyrovalerone) adalah stimulan sintetis dari kelas kathinone yang dikembangkan pada tahun 1960 yang telah dijual sebagai perancang obat. Bahasa sehari-hari kadang disebut flakka atau kerikil. α-PVT secara kimia berhubungan dengan pyrovalerone dan analog keton prolintane.
Efek samping
α-PVP, seperti psikostimulan lainnya, dapat menyebabkan hiperstimulasi, paranoia, dan halusinasi. α-PVP telah dilaporkan menjadi penyebabnya, atau penyebab kematian akibat bunuh diri dan overdosis akibat kombinasi obat-obatan. α-PVP juga telah dikaitkan dengan setidaknya satu kematian dimana dikombinasikan dengan pentedrone dan menyebabkan gagal jantung.
Farmakologi
α-PVP bertindak sebagai inhibitor reuptake norepinefrin-dopamin dengan nilai IC50 masing-masing 14,2 dan 12,8 nM, serupa dengan MDPV turunan metilendioksi.
Kimia
α-PVP tidak bereaksi dengan reagen marquis. Membeirkan reaksi warna abu-abu atau hitam dengan reagen mecke.
Deteksi Dalam Cairan Tubuh
α-PVP dapat diukur dalam darah, plasma atau urine dengan kromatografi cair - spektrometri massa untuk mengkonfirmasi diagnosis keracunan pada pasien rawat inap atau untuk memberikan bukti dalam penyelidikan kematian medicolegal. Konsentrasi darah atau plasma α-PVP diharapkan berada dalam kisaran 10-50 μg/L pada orang yang menggunakan obat tersebut secara rekreatif,> 100 μg / L pada pasien yang mabuk dan> 300 μg/L pada korban overdosis akut. 

Di Indonesia sendiri, Flakka telah dimasukkan ke dalam kategori Narkotika Golongan 1 pada Permenkes No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, dengan nama Alfa-PVP. Dan kabarnya ada zat lain yang terkandung dalam Alfa-PVP yang lebih berbahaya dari Morfin yakni derivat (turunan) Fentanil dan kini sedang diajukan ke Kementerian Kesehatan untuk dimasukkan dalam daftar narkotika. (kompasiana.com/irmina.gultom/mengenal-flakka-)

Share:
Read More

Makalah Klirens Ginjal

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tugas mata kuliah Farmakonkinetik ini dapat selesai pada waktunya. Makalah ini di beri judul “Renal Clearence (Klerens Ginjal)”
Tujuan penyusunan tugas ini adalah untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Farmakokinetik Semester Antara, Jurusan Farmasi Universitas Garut Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Dan tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, meskipun pada kenyataannya di bantu dengan menggunakan jaringan internet. Karena pada dasarnya internet dewasa ini sudah menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan (Knowladge).
Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun menjadi salah satu harapan bagi penyusun untuk perbaikan selanjutnya.

Garut, 25 Agustus 2017

Penyusun,



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Obat adalah bahan atau zat yang berasal dari tumbuhan, hewan,mineral maupun zat kimia tertentu yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit, memperlambat proses penyakit dan atau menyembuhkan penyakit. Obat ada yang bersifat tradisional seperti jamu, obat herbal dan ada yang telah melalui proses kimiawi atau fisika tertentu serta telah di uji khasiatnya. Obat harus sesuai dosis agar efek terapi atau khasiatnya bisa kita dapatkan.
Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat dikeluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi, atau biasa dikenal dengan ADME. Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses. Setelah diabsorpsi obat akan didistribusi keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah, karena selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya (Putradewa, 2010).
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting dan ekskresi disini merupakan resultan dari 3 proses, yaitu filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Dalam menentukan dosis obat suatu individu, seringkali perhatian khusus perlu diberikan, sehubungan dengan kemampuan tubuh individu untuk mengeliminasi obat yang diberikan. Ini dapat dijumpai misalnya pada individu dengan usia lanjut, bayi, kelainan fungsi alat-alat eliminasi, atau karena terjadi interaksi dengan obat lain sehingga eliminasinya terhambat. Untuk mengetahui kemampuan tubuh mengeliminasi obat tertentu, pengukuran parameter-parameter kinetika eliminasi merupakan metoda yang telah banyak dikenal dan dipergunakan. Pengukuran parameter- parameter ini meliputi kecepatan eliminasi (kel), waktu paro biologik (t1/2), dan klirens tubuh total (Cl) yang memerlukan pengambilan sampel darah secara berkala selama waktu tertentu.
Tentu saja ini merupakan metode yang rumit dan kurang menyenangkan bagi pasien. Untuk obat-obat tertentu, terutama yang mengalami eliminasi dengan cara ekskresi melalui ginjal, dengan mengukur nilai klirens ginjal kita telah mendapatkan gambaran kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat tersebut. Ini berdasarkan asumsi bahwa klirens total sama dengan klirens ginjal ditambah klirens selain ginjal. Apabila ekskresi ginjal merupakan cara eliminasi utama untuk suatu obat, maka dapat diasumsikan klirens total sama dengan klirens ginjal. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai klirens ginjal.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana kondisi anatomi dan fisiologi ginjal?
2.      Apa yang dimaksud dengan klirens obat?
3.      Apa yang dimaksud klirens ginjal?
4.      Bagaimana mekanisme klirens ginjal?
C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui kondisi anatomi dan fisiologi ginjal.
2.      Untuk mengetahui tentang klirens obat.
3.      Untuk mengatahui tentang klirens ginjal.
4.      Untuk mengetahui mekanisme klirens ginjal.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ginjal
Gambar 1. Letak ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terletak retroperitoneal, di kedua sisi kolumna vertebralis daerah lumbal. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi kosta 12, sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi kosta 11. Panjang ginjal pada orang dewasa sekitar 6,75 cm, tebal 1,5-2,5 cm dan berat sekitar 140 gram. Setiap ginjal terdiri dari 600.000 nefron. Nefron struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal, jumlahnya sekitar 1.000.000 pada setiap ginjal. Setiap nefron dimulai sebagai berkas kapiler (badan malphigi atau glomerulus) yang tertanam dalam ujung atas yang lebar pada urinefrus atau nefron. Nefron terdiri atas glomerulus dengan sebuah kapiler yang berfungsi sebagai filter. Penyaringan terjadi di dalam sel-sel epitelial yang menghubungkan setiap glomerulus (Tobing, 2010).


Gambar 2. Anatomi ginjal
Ginjal merupakan organ terpenting dari tubuh manusia maka dari itu ginjal mempunyai beberapa fungsi seperti : mengatur keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, serta mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih. Ginjal juga mengeluarkan sampah metabolisme (seperti urea, kreatinin, dan asam urat) dan zat kimia asing. Akhirnya selain regulasi dan ekskresi, ginjal juga mensekresi renin yang penting untuk mengatur tekanan darah, juga bentuk aktif vitamin D yaitu penting untuk mengatur kalsium, serta eritropoeitin yang penting untuk sintesis darah (Yusri, 2011).

B.     Klirens Obat
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume distribusi) dimana obat terlarut di dalamnya. Dari konsep ini, klirens diartikan sebagai volume cairan (yang mengandung obat) yang dibersihkan dari obat per satuan waktu. Sebagai contoh, jika klirens penisislin 15 ml/menit pada seorang penderita dengan volume distribusi (Vd) 12 liter, maka 15 ml dari 12 liter dibersihkan dari obat per menit.
Klirens juga dapat diartikan sebagai laju eliminasi obat dibagi konsentrasi obat dalam plasma pada waktu tersebut.

dDu/dt adalah laju eliminasi obat. Persamaan di atasmenunjukkan bahwa laju eliminasi obat berbanding langsung dengan konsentrasi obat dalam plasma (Cp). Harga klirens konstan untuk berbagai konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini berlaku selama laju eliminasi obat merupakan suatu proses orde kesatu.
Dengan menggunakan contoh penisislin, dianggap bahwa konsentrasinya dalam plasma 10 mg/ml dan 15 dari 12 liter (volume distribusi) dibersihkan per menit. Jadi, laju pembersihan obat = 15ml/menit x 10 mg/ml  = 150 mg/ml. Jadi, 150 mg/ml penisislin dieliminasi setiap menit dari tubuh ketika konsentrasi plasma 10 mg/ml. Oleh karena itu, klirens dapat digunakan untuk memperkirakan laju eliminasi obat pada berbagai konsentrasi.
Contoh tadi memberi suatu cara untuk menghitung klirens. Dianggap laju eliminasi penisilin adalah 150 mg/ml, yang diukur dengan ekskresi urin dan konsentrasi penisilin dalam plasma saat ini 10 mg/ml. Klirens penisilin dapat dihitung : Clpenisislin = 150mg/menit : 10 mg/ml = 15 ml/menit.
Klirens tubuh total adalah jumlah total dari seluruh jalur klirens dalam tubuh, termasuk klirens obat lewat ginjal (klirens ginjal) dan klirens hepar (klirens hepatik). Klirens dapat dinyatakan per kilogram berat badan sama dengan metode yang digunakan untuk menyatakan volume distribusi dengan dasar berat badan, karena kedua parameter farmakokinetik ini tetap dalam kondisi normal

C.    Klirens Ginjal
Klirens ginjal suatu obat didefinisikan sebagai volume darah yang dapat dibersihkan dari obat tersebut oleh ginjal   per satuan waktu, sehingga sebenarnya nilai klirens ginjal ini merupakan suatu ukuran yang menggambarkan kemampuan ginjal untuk membersihkan obat dari tubuh. Secara lebih sederhana klirens ginjal dapat didefinisikan, dalam hubungannya dengan pembuangan obat melalui ginjal, sebagai hasil dari kecepatan aliran darah ginjal (Qr) dan extraction ratioginjal (Er). Clr = Qr x Er (volume/unit waktu), sedangkan Er adalah selisih kadar obat dalam plasma arteri dan vena per kadar obat dalam plasma arteri.
Dapat dikatakan pula, sebenarnya nilai klirens ginjal tersebut merupakan tetapan yang menggambarkan hubungan antara kecepatan ekskresi obat pada waktu t (=dAe/dt) dengan konsentrasi obat dalam plasma pada waktu t (=C) atau dirumuskan sebagai berikut.
CLR  = ke x VD
Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya klirens ginjal merupakan hasil dari proses-proses filtrasi glomeruler dan sekresi maupun reabsorpsi di sepanjang tubuli renis.
Banyak manfaat yang dapat diambil dari pengukuran kadar obat dalam urin. Keterbatasan kemampuan ekskresi ginjal suatu obat misalnya, dapat diketahui dari nilai klirens ginjal yang terukur setelah pemberian dosis bertingkat. Manfaat yang sangat besar dalam hubungannya dengan terapi obat itu untuk mengetahui kemampuan tubuh mengeliminasi obat yang diberikan bila obat tersebut dieliminasi terutama dengan ekskresi ginjal. Untuk obat-obat ini, perubahan kemampuan ekskresi ginjal akan memberikan akibat yang nyata pada efek farmakologiknya. Selain itu, pengukuran klirens ginjal juga bermanfaat untuk kepentingan monitoring terapi obat, terutama pada keadaan-keadaan dimana overdosis perlu dicurigai. Selain itu, untuk obat-obat yang eliminasi utamanya adalah ekskresi ginjal ini, pengukuran jumlah obat dalam urin dapat memberikan gambaran kemampuan absorpsinya tanpa harus memberikan obat secara intravenosa
D.    Mekanisme Klirens Ginjal
Cara eliminasi bervariasi menurut jenis obatnya. Sebagian obat dieliminasi tanpa perubahan sementara sebagian lainnya setelah mengalami metabolisme yang ekstensif. Kebanyakan obat akan diekskresikan lewat ginjal, kendati empedu juga merupakan jalur ekskresi yang penting. Banyak obat masuk ke dalam ASI. Alkohol mempunyai jalur eliminasi yang tidak lazim karena 5-10 persennya akan dieliminasi lewat paru-paru, keringat dan urine. Bagi sebagian besar obat, eliminasi meliputi metabolisme dalam hati plus ekskresi lewat ginjal.
Ekskresi ginjal merupakan rute terbesar eliminasi untuk beberapa obat. Obat-obat yang larut dalam air, mempunyai berat molekul rendah (BM≤ 300), atau yang mengalami biotransformasi secara lambat oleh hati akan dieliminasi dengan ekskresi ginjal. Proses ekskresi obat lewat ginjal dapat meliputi berbagai kombinasi yaitu filtrasi glomerulus, sekresi tubular aktif, dan reabsorpsi tubular. Seperti contoh diagram di bawah ini,
Filtrasi Glomerulus
Filtrasi glomerulus merupakan suatu proses tidak langsung yang terjadi untuk sebagian besar molekul-molekul kecil (BM <500), meliputi obat-obat yang tidak terionisasi dan terionisasi. Obat-obat yang terikat protein berkelakuan sebagai molekul-molekul besar dan tidak dapat difiltrasi pada glomerulus. Sebagian besar gaya penggerak untuk filtrasi glomerulus adalah tekanan hidrostatik dalam kapiler-kapiler glomerulus. Ginjal menerima pasokan darah yang besar kira-kira 25% curah jantung melalui arteri ginjal dengan penurunan tekanan hidrostatik yang sangat kecil.
Gambar 3. Laju filtrasi glomerulus

Laju filtrasi glomerulus (GFR) diukur dengan menggunakan suatu obat yang dieliminasikan hanya dengan filtrasi (yakni tidak direarsorpsi atau disekresi). Contoh obat-obat tersebut adalah inulin dan kreatini. Oleh karena itu, klierens inulin akan sama dengan laju filtrasi glomerulus, sama dengan 125-130 ml/menit. Harga laju filtrasi glomerulus mempunyai kolerasi cukup baik dengan permukaan tubuh. Filtasi glomerulus obat berhubungan langsung dengan konsentrasi obat bebas atau obat yang terikat bukan dengan protein dalam plasma. Bila konsentrasi obat bebas dalam plasma naik, maka filtrasi glomerulus obat akan naik secara proporsional.
Sekresi Tubular Aktif
Sekresi aktif lewat ginjal merupakan suatu proses transpor aktif. Sekresi aktif lewat ginjal merupakan sistem yang diperantarai pembawa yang memerlukan masukan energi, karena obat diangkat melawan suatu gradien konsentrasi.sistem pembawa kapasitasnya terbatas dan dapat dijenuhkan. Obat dengan struktur yang sama dapat bersaing untuk sistem pembawa yang sama. Dua sistem sekresi aktif ginjal yang telah diketahui, yaitu sistem untuk asam lemah dan basa lemah. Sebagai contoh, probenesid akan bersaing dengan penisilin untuk suatu sistem pembawa yang sama (asam lemah). Laju sekresi tubular aktif tergantung pada aliran plasma ginjal. Obat-obat yang umum digunakan pada pengukuran tubular aktif meliputi asam p-aminohipurat (PAH) dan iodopiraset (Diodras). Kedua senyawa ini difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan oleh sel tubular. Sekresi aktif untuk obat-obat ini sangat cepat, dan praktis semua obat yang dibawa ke ginjal dieliminasi dalam satu jalur. Oleh karena itu, klierens untuk obat-obat ini mencerminkan aliran plasma ginjal efektif. Aliran plasma ginjal efektif (ERPF) bervariasi dari 425 sampai 650 ml/menit. Untuk suatu obat yang semata-mata diekskresi oleh filtrasi glomerulus, waktu-paruh eliminasi dapat berubah secara nyata sehubungan afinitas ikatan obat dengan protein plasma. Sebaliknya ikatan protein mempunyai efek yang sangat kecil terhadap waktu-paruh eliminasi suatu obat yang terutama diekskresikan dengan sekresi aktif. Karena ikatan protein- obet reversibel, obat terikat dan obat bebas diekskresi dengan sekresi aktif selama melewati ginjal pertama kali. Sebagai contoh, beberapa penisilin secara ekstrim terikat protein, tetapi waktu-paruh eliminasinya pendek sehubungan dengan eliminasi yang cepat oleh sekresi aktif.
Reabsorpsi Tubular
Reabsorpsi tubular terjadi setelah obat difiltrasi melalui glomerulus dan dapat aktif atau pasif. Jika suatu obat direabsorpsi sempurna (misal glukosa), maka harga klierens obat mendekati nol. Untuk obat-obat yang direabsorpsi sebagian, harga klierensnya akan menjadi lebih kecil daripada GFR 125-130 ml/menit.
Reabsorpsi obat-obat asam atau basa lemah dipengaruhi oleh pH cairan dalam tubulus ginjal (yakni pH urin) dan pKa obat. Kedua faktor itu secara bersama-sama menentukan presentase obat terionisasi dan tidak terionisasi. Umumnya spesies tidak terionisasi lebih larut dalam lemak dan memiliki permeabilitas membran yang lebih besar. Obat-obat yang tidak terionisasi dengan mudah direabsorpsi dari tubulus ginjal kemali ke dalam tubuh. Proses reabsorpsi obat ini secara bermakna dapat mengurangi jumlah obat yang diekskresi, nergantung pada pH cairan urin dan pKa obat. pKa obat akan tetap, tetapi pH urin normal dapt berubah-ubah dari 4,5 sampai 8,0 bergantung pada diet, patofisiologi, dan masukan obat. Diet sayur-sayuran atau diet kaya karbohidrat akan mengakibatkan pH urin yang lebih tinggi, sedangkan diet kaya protein akan mengakibatkan pH urin menjadi rendah. Obat-obat seperti asam askorbat dan antasid seperti Natrium karbonat dapat mengubah pH urin bila diberikan dalam jumlah besar. Lebih lanjut perubahan yang paling penting dalam pH urin disebabkan oleh cairan yang diberikan secara intravena. Cairan-cairan intravena seperti larutan bikarbonat atau ammonium klorida digunakan dalam terapi asam-basa. Ekskresi larutan ini secara drastis dapat mengubah pH urin dan reabsorpsi obat.
Presentase obat asam lemah yang terionisasi sehubungan dengan pengaturan pH dapat diperoleh dari persmaan Handerson-Hasselbach:






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Ginjal merupakan organ utama ekskresi yang berbentuk seperti kacang, terletak retroperitoneal, di kedua sisi kolumna vertebralis daerah lumbal.
2.      Klirens obat merupakan volume cairan (yang mengandung obat) yang dibersihkan dari obat per satuan waktu.
3.      Klirens ginjal merupakan suatu ukuran yang menggambarkan kemampuan ginjal untuk membersihkan obat dari tubuh
4.      Mekanisme klirens ginjal meliputi kombinasi filtrasi glomerulus, sekresi tubular aktif, dan reabsorpsi tubular.







DAFTAR PUSTAKA
Yusri, 2011, Fungsi Ginjal – Organ Ekskresi, http://www.kesehatan123.com/1007/fungsi-  ginjal/, diakses 24 Agustus 2017.   
Auliasari, Nurul. M,Si, 2017. Renal Klirens (Klirens Ginjal).Universitas Garut Fakultas MIPA; Microsoft Power Point Slide.
Putradewa, 2010, Farmakologi, http://putramahadewa.wordpress.com/2010/03/30/farmakologi/, diakses 24 Agustus 2017.







Share:
Read More

Makalah Protein Binding

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tugas mata kuliah Farmakonkinetik ini dapat selesai pada waktunya. Makalah ini di beri judul “Protein Binding (Ikatan Obat-Protein)”.
Tujuan penyusunan tugas ini adalah untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Farmakokinetik Semester Antara, Jurusan Farmasi Universitas Garut Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Dan tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, meskipun pada kenyataannya di bantu dengan menggunakan jaringan internet. Karena pada dasarnya internet sekarang ini sudah menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan (Knowladge).
Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun menjadi salah satu harapan bagi penulis untuk perbaikan selanjutnya.

Garut, 25 Agustus 2017

Penyusun,




DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................ i
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1
    A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................1
    B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
    C. Tujuan............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3
    A. Pengertian Protein Plasma.............................................................................................3
    B. Macam – macam Protein Plasma...................................................................................3
    C. Fungsi Protein Plasma....................................................................................................4
    D. Batas Normal Protein Plasma Pada Keadaan-
         Patologik dan Protein Patologik Pada Suatu Penyakit Tertentu....................................5
    E. Ikatan Obat – Protein......................................................................................................7
    F. Pengaruh Ikatan Obat – Protein.......................................................................................8
BAB III PENUTUP..............................................................................................................11
    A. Kesimpulan....................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ikatan protein plasma sering disebut sebagai faktor yang memainkan peranan farmakokinetik, farmakodinamik, dan interaksi obat. Namun, tidak ada contoh yang relevan secara klinik mengenai perubahan sifat dan efek obat yang secara jelas mengakibatkan perubahan-perubahan dalam iktan protein plasma (Benet & Hoener 2002). Pemikiran bahwa jika suatu obat dilepaskan dilepaskan dari protein plasma akan meningkatkan kosenstrasi obat yang tidak terikat dan meningkatkan efek obat, dan kemungkinan menyebabkan toksisitas, tampaknya merupakan suatu mekanisme yang sederhana dan jelas. Sayang sekali, teori sederhana ini, yang cocok untuk suatu tabung percobaan, tidak berlaku di dalam tubuh, yang merupakan suatu sistem terbuka yang mampu mengeliminasi obat yang tidak terikat tersebut.
Pertama, karena obat yang tidak terikat protein plasma kurang dari sepertiga total obat yang masuk dalam tubuh, perubahan fraksi yang tidak terikat- yang seakan-akan dramatis-sebesar 1%-10% hanya akan menambah pool obat bebas sebesar kurang dari 5% total obat tersebut, bahkan pada kasus yang paling ekstrim, misalnya warfarin.
Obat yang dilepaskan dari protein plasma tentu saja akan didistribusikan dalam volume distribusi sehingga peningkatan jumlah obat yang tidak terikat dalam tubuh sebesar 5% itu, paling banyak hanya akan meningkatkan obat bebas aktif pada tempat kerja obat sebesar 5%.
Kedua, bila jumlah obat yang tidak terikat di dalam plasma meningkat, kecepatan eliminasi akan bertambah (jika klirens obat tidak terikat tidak berubah), dan setelah empat waktu paruh kosentrasi obat yang tidak terikat protein plasma akan kembali kenilai keadaan stabil sebelumnya. Setelah interaksi obat yang berhubungan dengan pelepasan dari ikatan dengan protein plasma dan efek klinis yang pentinganyadipelajari, diemukan bahwa pelepasan obat juga merupakan inhibitor klirens, dan perubahan klirens obat yang tidak terikat itulah yang merupakan mekanisme relevan untuk menerangkan interaksi tersebut.
Kepentingan klinis dari ikatan protein plasma hanya membantu dalam penginterpretasi pengukuran konsentrasi obat. Apabila protein plasma lebih rendah dari normal, maka konsentasi obat total akan lebih rendah tetapi konsentrasi obat yang tidak terikat tidak akan terpengaruh.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan protein plasma?
2.      Berapa macam protein plasma?
3.      Bagaimana batas normal protein plasma patalogik pada suatu penyakit tertentu?
4.      Apa yang dimaksud ikatan obat protein?
5.      Bagaimana pengaruh obat terhadap protein?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui protein plasma secara menyeluruh.
2.      Untuk mengetahui macam-macam protein plasma.
3.      Untuk mengetahui batas normal protein plasma patalogik terhadap penyakit.
4.      Untuk mengetahui ikatan obat terhadap protein
5.      Untuk mengetahui pengaruh obat terhadap protein

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Protein Plasma
Protein plasma ialah protein total dalam plasma manusia memiliki konsentrasi sekitar 7,0-7,5 gr/dl dan membentuk bagian terbesar dari bahan padat plasma. Protein plasma sebenarnya adalah campuran kompleks yang mencakup tidak saja protein – protein sederhana, tetapi juga protein terkonjugasi, misalnya glikoprotein dan berbagai lipoprotein.
B.    Macam – macam Protein Plasma
Protein Plasma dibedakan menjadi 3 kelompok besar :
1.      Fibrinogen
Fibrinogen adalah salah satu protein yang disintesis oleh hati yang merupakan reaktan fasa akut berbentuk globulin beta. Protein ini berguna untuk proses hemostatis yang menstimulasi pembentukan thrombus. Rasio plasma normal yang berkisar antara 200-400 mg/dL.
2.      Albumin (69 kDa)
Albumin adalah protein utama dalam plasma manusia ( 3,4-4,7g/dL) dan membentuk sekitar 60% protein plasma total. Sekitar 40% albumin terdapat dalam plasma dan 60% sisanya terdapat diruang ekstrasel. Hati menghasilkan sekitar 12 g albumin /hari, yaitu sekitar 25% dari semua sintesis protein oleh hati dan separuh jumlah protein yang disekresikannya. Sintesis albumin berkurang pada beragam penyakit terutama penyakit hati.
3.      Globulin
Menurut Harrow et al (1962), Globulin merupakan salah satu golongan protein yang tidak larut dalam air, mudah terkoagulasi oleh panas, mudah larut dalam larutan garam dan membentuk endapan dengan konsentrasi garam yang tinggi. Glubolin disusun oleh dua komponen yaitu legumin dan vicilin. Suhardi (1989) menambahkan bahwa dengan ultrasentrifugasi ditemukan protein utama golongan 2S, 7S, 11S dan 15S. Fraksi terbesar adalah globulin 7S yang merupakan glikoprotein. Protein globulin dapat mencapai 70% dari total protein. Fraksi 11S sampai sekarang baru dikenal sebagai protein tunggal sedangkan frakti 15S belum dapat diidentifikasikan senyawa penyusunnya.
4.      Protombin
Sejenis glikoprotein yang dibentuk oleh dan dsimpan dalam hati. Sekresi protombin ke dalam plasma darah, terjadi Karena stimulasi dari tromboplastin dan ion kalsium pada proses koagulasi. Dalam proses tersebut, protobin kemudian di konfrensi menjadi thrombin oleh protrombinase lebih lanjut. Thrombin akan memkonfrensi fibrinogen menjadi fibrin.
C.   Fungsi protein plasma :
1.      Keseimbangan osmotik
Hipoalbumin menyebabkan tekanan osmotic plasma menurun sehingga kapiler tidak mampu melawan tekanan hidrostatik sehingga timbul oedem (cairan darah menuju ke jaringan interstitial).
2.      Pembentukan dan nutrisi jaringan
3.      Enzim, hormone, pembekuan darah ( fibrinogen, AT III ) dan jaringan tubuh.
4.      Transportasi
5.      Daya tahan tubuh
6.      Antibodi dan komplemen
Perubahan protein plasma :
a.       Hiperalbumin : peningkatan kadar albumin.
Dijumpai pada dehidrasi terjadi hemokonsentrasi protein plasma
b.      Hipoalbumin
Dijumpai pada malnutrisi, malabsorbsi, hepatitis akut, penyakit hati menahun, dan sebagainya.

D.   Batas Normal Protein Plasma pada keadaan Patologik dan Protein Patologik pada suatu Penyakit tertentu
Serum protein (bahasa Inggris: globular protein, spheroprotein) merupakan salah satu dari tiga jenis protein di dalam tubuh yang terbentuk dari asam amino berupa larutan koloidal di dalam plasma darah. Protein (bahasa Yunani: πρωτεϊνη - proteios) berarti utama (bahasa Inggris: first rank).
Serum protein tidak mengandung fibrin (bukan merupakan fibrous protein) sehingga dapat terlarut. Total serum protein dalam darah sekitar 7,2 - 8 g/dl atau sekitar 7% dari volume darah keseluruhan dengan berbagai kegunaan:
o   Sirkulasi molekul lipida, hormon, vitamin dan zat besi
o   Enzim, komponen komplemen, protease inhibitor dan kinin prekursor
o   Regulasi aktivitas, fungsional non seluler dalam sistem kekebalan.
Total serum protein dapat melonjak karena:
infeksi kronis (termasuk tuberkolosis, Adrenal cortical hypofunction, disfungsi hati, Collagen Vascular Disease (Rheumatoid Arthritis, Systemic Lupus, Scleroderma), gejala hipersensitivitas, Sarcoidosis, dehidrasi (diabetic acidosis, chronic diarrhea, dll.), Respiratory distress, Hemolisis,Cryoglobulinemia, Alcoholism, Leukemia
dan menurun antara lain disebabkan oleh:
Malnutrition dan malabsorption (insufficient intake and/or digestion of proteins), Liver disease (insufficient production of proteins), Diare (loss of protein through the GI tract), Severe burns (loss of protein through the skin), Hormone Imbalances that favor breakdown of tissue, Loss through the urine in severe kidney disease (proteinuria), Kehamilan (dilution of protein due to extra fluid held in the vascular system)


Protein Darah
Kadar Normal Level
%
Kegunaan

Serum Albumin

3.5-5.0 g/dl

60%

Memelihara tekanan osmosis dan pengusung molekul lain
Immunoglobin

1.0-1.5 g/dl

18%
Membentuk sistem kekebalan tubuh
Fibrinogen Alfa-1 fetoprotein

0.2-0.45 g/dl

4%
Koagulasi darah
Protein Wewenang


<1%
Mengatur ekspreksi genetik

Terdapat dua jenis protein yang utama di dalam serum, yaitu albumin dan globulin. Albumin dibuat di dalam hati, merupakan protein yang paling menonjol dan bermuatan negatif yang terkuat guna mengikat molekul kecil untuk diedarkan melalui darah. Albumin juga berguna untuk menjaga tekanan osmosis darah.
Beberapa jenis globulin diproduksi di dalam hati, sementara yang lain diproduksi di dalam sistem kekebalan. Semua jenis serum protein yang lain diproduksi di dalam hati. Arti kata globulin menunjukkan sekelompok protein heterogen dengan berat molekul tertentu yang cukup tinggi, dengan kecepatan terlarut (en:solubility rate) dan laju
migrasi elektroforetik (en:electrophoretic migration rate) yang lebih rendah daripada albumin. Rasio normal di dalam darah sekitar 2 hingga 3,5 g/dl.



E.  Ikatan Obat - Protein
Ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan terjadi pada saat proses distribusi obat. Tentunya, setelah proses absorpsi obat. Kemudian didistribusikan lalu mengalami metabolisme.
Hampir kebanyakan obat terikat dengan protein plasma dan atau pada jaringan selama proses distribusinya. Ikatan ini biasanya bersifat reversible, artinya obat dapat kembali bebas dari ikatan dengan protein plasma. Ikatannya yang reversible menandakan bahwa ikatan kiminya lemah, contohnya ikatan hidrogen, gaya van der walls. Komponen utama protein plasma yang akan berikatan dengan obat adalah albumin, globulin, lipoprotein.
Obat-obatan yang bersifat asam lemah seperti asam salisilat, fenilbutazon, penisilin, memiliki afinitas yang kuat terhadap albumin. Obat yang berada pada keadaan terikat dengan protein plasma, tidak dapat menembus membran biologis dan tidak aktif secara farmakologi (tidak menghasilkan efek).
Dari sejumlah dosis obat yang diberikan, sebagiannya akan terikat dengan protein plasma, sebagain lagi dalam bentuk bebas, tergantung dari seberapa besar afinitas obat terhadap protein plasma atau jaringan.
Hanya obat bebas yang mengalami metabolisme, yang dapat menebus membran biologis dan menghasilkan efek farmakologi. Ketika kadar obat bebas mulai menurun, maka obat yang terikat dengan protein plasma akan terlepas untuk menjaga kesetimbangan.


Dapat di tunjukan dengan skema seperti di bawah ini:

Beberapa contoh obat golongan sulfonilurea yang terikat dengan protein plasma:
·         Klorpropamid berikatan dengan albumin (57-72%), β-globulin III (13,5%), α-globulin IV (4%).
·         Tolbutamid berikatan dengan albumin (80-86%), β-globulin III (15,8%) dan α-globulin IV (12,9%)
Pada proses distribusi ini, khususnya pada bagian ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan, sangat sering tejradi interaksi.
F.  Pengaruh Ikatan Obat - Protein
·         Adanya ikatan obat dengan protein akan berpengaruh pada kondisi DISTRIBUSI dan ELIMINASI dari obat.
·         Penurunan jumlah obat yang terikat dengan protein dapat menyebabkan meningkatnya jumlah obat bebas dalam darah.
·         Meningkatnya jumlah obat bebas menyebabkan meningkatnya jumlah obat yang berikatan dengan reseptor.

Pengaruh ikatan obat - protein terhadap parameter farmakokinetik meliputi,
1.      Volume distribusi
2.      Klirens
3.      Waktu paruh eliminasi
1.1  Volume Distribusi (Vd)
Obat yang terikat protein plasma tidak bisa berdifusi dengan mudah, sehingga dapat menyebabkan lebih sedikit terdistibusinya di jaringan.
Perubahan dari fraksi obat bebas dan terikat (fT)dapat mempengaruhi volume distribusi.
Kenaikan jumlah obat bebas akan meningkatkan volume distribusi karena difusi obat ke jaringan-jaringan akan lebih mudah.
Volume distribusi (Vd) dapat dijadikan salah satu patokan untuk menghitung ikatan protein, dapat di buat dengan rumus :
Vd = Vb + (fb/ft)x Vt
Di mana Vd adalah volume distribusi total, Vb volume darah, Vt volume jaringan, fb fraksi obat bebas dalam darah, dan ft adalah fraksi obat bebas dalam jaringan.
Dengan menggunakan contoh subjek berat badan (bb) 70 kg, volume darah 8% berat badan (5,6L) dan volume jaringan sama dengan cairan tubuh dikurangi volume darah atau =36, 4L. Tentukan perubahan volume distribusi total jika secara normal terikat protein 97% tapi terdesak menjadi 95%. Dianggap bahwa kadar obat bebas dalam jaringan sama dengan kadar awal obat bebas dalam darah.


Dapat disimpulkan dengan jawaban sebelum terdesak dan setelah terdesak
Sebelum terdesak
            V = 5,6 + 0,03/0,03(36,4) =  42 L
Setelah terdesak
            V= 5,6 + 0,05/0,03 (36,4) = 66,3 L
1.2  Klirens
Obat yang banyak terikat dengan protein plasma dapat menurunkan klirens obat secara keseluruhan.
Obat yang dimetabolisme di hati,  ikatan obat dengan protein mencegah masuknya obat ke hepatosit menyebabkan penurunan metabolisme obat di hati.
Obat yang terikat dengan protein tidak bisa menjadi substrat untuk enzim hati sehingga menurunkan kecepatan metabolismenya.  
1.3  Waktu Paruh Eliminasi
Waktu paruh eliminasi obat yang diekskresikan melalui ginjal mengalami kenaikan dengan meningkatnya jumlah obat yang terikat dengan protein plasma.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1.      Protein plasma ialah protein total dalam plasma manusia memiliki konsentrasi sekitar 7,0-7,5 gr/dl dan membentuk bagian terbesar dari bahan padat plasma.
2.      Protein plasma dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu fibrinogen, albumin, dan globulin
3.      Batas normal protein plasma dapat melonjak akibat dari penyakit, seperti penyakit infeksi kronis, disfungsi hati, gejala hipersensitivitas dan Leukimia
4.      Pengaruh ikatan obat protein diliputi oleh Volume distribusi, Klirens dan Waktu paruh eliminasi.











DAFTAR PUSTAKA
Auliasari, Nurul. M,Si. 2017.Protein Binding. Universitas Garut Fakultas MIPA; Microsoft Power Point Slide.
Mita, 2014, Protein Plasma, https://contohmakalahkesehatank.wordpress.com/2014/07/31/makalah-protein-plasma/,diakses 25 Agustus 2017.
Marantha Yoshua, 2017, Ikatan Obat Dengan Protein Plasma, http://www.maranathafarma.id/2017/04/ikatan-obat-dengan-protein-plasma.html, diakses 25 Agustus 2017.


     
Share:
Read More