Kebenaran Universal dan Kekal


Dalam peradaban Berat, sudah lajim membuat per-bedaan tajam antara akal  dan wahyu, atau antara Athena dan Jerusalem. Untuk memahami  peran yang  telah dimainkan oleh ilmu-ilmu”intelektual”dalam tra-disi Islam, perlu dipahami bahwa perspektif Islam yang dominan melihat akal dan wahyu bersifat har-monis dan saling melengkapi, bukan antagonistik. Kandungan pesan Al-Quran mendorong  pada suatu sudut pandangan yang berlawanan dengan apa yang menjadi norma di Barat Kristen, Tanpa memahami perbedaan sudut pandang, sulit menangkap peran yang telah di mainkan tradisi hikmah dalam islam.

Jika agama Kristen di pahami dalam kaitannya dengan di kotomi antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan yang ditransmisikan,  apa yang segera mencolok adalah bahwa kebenaran-kebenaran utama diturunkan dari transmisi, bukan dari pemikiran. Gagasan yang menentukan pandangan dunia Kristen-jika generalisasi atas pel-bagai tra-disi yang beragam dapat di terapkan-adalah inkar-nasi,suatu peristiwa historis yang telah terjadi ber-dasarkan pengetahuan yang ditransmisikan. Jelas nya, inkarnasi di pandang sebagai intervensi  Ilahi yang mengubah sejarah, bahkan juga dipahami terjadi berdasarkan aktualitas historis. Untuk mengetahui hal itu,orang membutuhkan transmisi pengetahuan dalam sejarah. Sekali  inkamasi diakui, maka ada kemungkinan untuk melihat bagaimana ia digambarkan dalam keesaan Tuhan, melalui logos dan trinitas.Meskipun seluruh tradisi pemikiran yang berkembang dapat di sebut “Platonisme Kristen”,suatu tradisi yang di awali dengan gagasan dalam pikiran Tuhan,kandungan Khas Kristiani dan tradisi ini bergantung pada fakta historis inkarnasi.

Tradisi Islam memiliki titik tolak yang sangat bereda. Sering diasumsikan baik oleh muslim maupun non muslim bahwa islam bermula dengan peristiwa historis Muhammad dan Al-Qur’an. Tentu ada benarnya dalam hal ini, tetapi tidak demikian cara kaum muslim yang lebih reflektif dalam memahami agama mereka. Sebaliknya, islam bermula dengan penciptaan dunia. Dalam penertian Qurani akuan, kepasrahan. Berarti kondisi universal dan membantu menjelaskan mengapa dogma pertama dan fundamental agama tidak berkaitan dengan fakta historis Muhammad dan Al-Quran.

Share:
Read More

Metafisika dan Matematika dalam Budaya Islam Klasik : Ibn Sina & para Penerusnya



Selama tujuh abad, riset matimatis yang maju telah dilakukan di pusat-pusat urban Islam. Kita boleh saja meragukan apakah para filosof menemukan tema-tema bagi perenungan dalam karya-nya, dan apakah mereka mencari model-model matematika guna mengelaborasi sistemnya, atau sebaliknya, apakah mereka bersandar pada apa yang disebut para sejarawan sebagai falsafah, yakni doktrin Wujud dan jiwa yang tak acuh terhadap cabang lain pengetahuan, dan bebas dari setiap batasan kecuali agama (singkatnya, warisan dari Zaman kuno dengan nama Islam). Pertanyaan semacam itu mungkin menarik baik bagi sejarawan filsafat ataupun sejarawan sains. Bagaimana kita dapat membayangkan bahwa, di tengah kemajuan disiplin dan hasil matematis yang tak ada preseden sebelumnya, aljabar, geometri aljabar, analisis Diophantean, teori paralel, dan metode proyeksi, para filosof tetap tidak acuh? Lebih sulit lagi untuk diyakini bahwa mereka gagal bereaksi ketika, di hadapan mata mereka sendiri masalah-masalah epistemologis mereka baru diangkat oleh mathesis baru. Di antara semua ini adalah masalah penerapan matematika : tidak pernah sebelumnya disiplin matematika diterapkan satu sama lain; tidak pernah ada kebutuhan yang dipersepsi untuk menerapkan matematika pada fisika, karena nilai-demonstratif fisika; terakhir, tidak pernah terjadi pada siapa pun untuk menemukan disiplin yang mampu mengungkapkan hasilnya melalui geometri posisional dan geometri metrik; dengan kata lain, topologi avant le lettre.
Peristiwa-peristiwa epistemik ini bukan hanya satu; dan mengherankan jika semua ini lepas di antara mereka adalah ahli matematika dan sebagian besar selalu mengikuti bidang tersebut. Tentu, sebuah disiplin atau aktivitas ilmiah tidak harus memiliki filsafat, demikian pula filsof tidak harus memainkan peran tertentu dalam perkembangan matematika dan sains. Dengan kata lain, tidak ada kemestian a priori dalam hubungan antara matematika dan filsafat teoritis; ini juga menjadi alasan lain untuk mengangkat persoalan dan kembali mencermati karya-karya para filosof dan ahli matematika, dalam upaya menguraikan hubungan-hubungan ini. Satu hasil tampak telah nyata: setelah melaksanakan tugas dalam sejumlah kesempatan, saya yakin telah menunjukkan kekayaan filsafat matematika yang hingga kini tidak pernah diduga dalam Islam klasik di tangan para metmatikawan semisal Al-Sijzi, Ibn Sinan, Ibn Al-Haitsam dan ditangan para filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina.
Kali ini, akan meneliti aspek lain dari hubungan antara matematika dan filsafat dalam Islam Klasik: hubungan yang terungkap ketika filosof menjamin dari matematika instrumen bagi penyelesaian masalah logika-matematis. Yang menarik perhatian, terjadi dampak yang tak diduga sebelumnya: bagi perkembangan bidang matematika yang melengkapi instrumen tersebut. Tukar-menukar antara analisis kombinatorial dan metafisika merupakan suatu ilustrasi yang baik sekali tentang gerakan ganda ini. Berdasarkan doktrin ontologis dan kosmogoniknya, Ibn Sina telah memberikan suatu keragaman dari yang Maha Esa, Nashir Al-Din Al-Thusi melihat sekilas dalam doktrin Ibn Sina itu sendiri kemungkinan untuk melengkapinya dengan suatu cara kombinatorial, yang kemdian dia pinjam dari para ahli aljabar, yang kemudian dia pinjam dari para ahli aljabar. Namun, agar tindakan Al-Thusi diinterpretasikan dengan cara kombinatorial, dan interpretasi kombinasi inilah yang menandai sertifikat kelahiran disiplin ini yang disebut analisis komninatorial, yang dieksplorasi oleh para penerus matematika Al-Thusi, di antaranya orang-orang seperti Al-Farisi dan Ibn Al-Banna. Berdasarkan sumbangan ini, filosof terkemudian, Al-Halibim mencoba menyusun unsur-unsur disiplin baru, dengan memberinya khusus untuk menandai otonominya.
Namun sebelum kita meneliti gerakan ini, pertama-tama kita harus membedakannya dengan alur perjalanan konsep-konsep menurut kaidah mekanika, yang hasilnya kemudian berubah menjadi penysunan atau kombinasi. Namun, Lulle tidak meminjam apapun dari matematikanya, dan tidak pernah melihat sesuatu yang matematis dalam prosedurnya sendiri. Pengembangan Al-Thusi ingin memberikan solusi matematis bagi masalah emanasi keragaman dari Yang Maha Esa, yang mendorongnya melengkapi doktrin Ibn Sina tentang penciptaan dengan kerangka kombinasi; sedangkan Leibiniz ingin mengonstruksi Ars inveniendi berdasarkan basis kombinatorial.

Share:
Read More