Selama
tujuh abad, riset matimatis yang maju telah dilakukan di pusat-pusat urban
Islam. Kita boleh saja meragukan apakah para filosof menemukan tema-tema bagi
perenungan dalam karya-nya, dan apakah mereka mencari model-model matematika
guna mengelaborasi sistemnya, atau sebaliknya, apakah mereka bersandar pada apa
yang disebut para sejarawan sebagai falsafah, yakni doktrin Wujud dan jiwa yang
tak acuh terhadap cabang lain pengetahuan, dan bebas dari setiap batasan
kecuali agama (singkatnya, warisan dari Zaman kuno dengan nama Islam).
Pertanyaan semacam itu mungkin menarik baik bagi sejarawan filsafat ataupun
sejarawan sains. Bagaimana kita dapat membayangkan bahwa, di tengah kemajuan
disiplin dan hasil matematis yang tak ada preseden sebelumnya, aljabar,
geometri aljabar, analisis Diophantean, teori paralel, dan metode proyeksi,
para filosof tetap tidak acuh? Lebih sulit lagi untuk diyakini bahwa mereka
gagal bereaksi ketika, di hadapan mata mereka sendiri masalah-masalah
epistemologis mereka baru diangkat oleh mathesis baru. Di antara semua ini
adalah masalah penerapan matematika : tidak pernah sebelumnya disiplin
matematika diterapkan satu sama lain; tidak pernah ada kebutuhan yang
dipersepsi untuk menerapkan matematika pada fisika, karena nilai-demonstratif
fisika; terakhir, tidak pernah terjadi pada siapa pun untuk menemukan disiplin
yang mampu mengungkapkan hasilnya melalui geometri posisional dan geometri
metrik; dengan kata lain, topologi avant le lettre.
Peristiwa-peristiwa
epistemik ini bukan hanya satu; dan mengherankan jika semua ini lepas di antara
mereka adalah ahli matematika dan sebagian besar selalu mengikuti bidang
tersebut. Tentu, sebuah disiplin atau aktivitas ilmiah tidak harus memiliki
filsafat, demikian pula filsof tidak harus memainkan peran tertentu dalam
perkembangan matematika dan sains. Dengan kata lain, tidak ada kemestian a
priori dalam hubungan antara matematika dan filsafat teoritis; ini juga menjadi
alasan lain untuk mengangkat persoalan dan kembali mencermati karya-karya para
filosof dan ahli matematika, dalam upaya menguraikan hubungan-hubungan ini.
Satu hasil tampak telah nyata: setelah melaksanakan tugas dalam sejumlah
kesempatan, saya yakin telah menunjukkan kekayaan filsafat matematika yang
hingga kini tidak pernah diduga dalam Islam klasik di tangan para metmatikawan
semisal Al-Sijzi, Ibn Sinan, Ibn Al-Haitsam dan ditangan para filosof seperti
Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina.
Kali
ini, akan meneliti aspek lain dari hubungan antara matematika dan filsafat
dalam Islam Klasik: hubungan yang terungkap ketika filosof menjamin dari
matematika instrumen bagi penyelesaian masalah logika-matematis. Yang menarik
perhatian, terjadi dampak yang tak diduga sebelumnya: bagi perkembangan bidang
matematika yang melengkapi instrumen tersebut. Tukar-menukar antara analisis
kombinatorial dan metafisika merupakan suatu ilustrasi yang baik sekali tentang
gerakan ganda ini. Berdasarkan doktrin ontologis dan kosmogoniknya, Ibn Sina
telah memberikan suatu keragaman dari yang Maha Esa, Nashir Al-Din Al-Thusi
melihat sekilas dalam doktrin Ibn Sina itu sendiri kemungkinan untuk
melengkapinya dengan suatu cara kombinatorial, yang kemdian dia pinjam dari
para ahli aljabar, yang kemudian dia pinjam dari para ahli aljabar. Namun, agar
tindakan Al-Thusi diinterpretasikan dengan cara kombinatorial, dan interpretasi
kombinasi inilah yang menandai sertifikat kelahiran disiplin ini yang disebut
analisis komninatorial, yang dieksplorasi oleh para penerus matematika
Al-Thusi, di antaranya orang-orang seperti Al-Farisi dan Ibn Al-Banna.
Berdasarkan sumbangan ini, filosof terkemudian, Al-Halibim mencoba menyusun
unsur-unsur disiplin baru, dengan memberinya khusus untuk menandai otonominya.
Namun
sebelum kita meneliti gerakan ini, pertama-tama kita harus membedakannya dengan
alur perjalanan konsep-konsep menurut kaidah mekanika, yang hasilnya kemudian
berubah menjadi penysunan atau kombinasi. Namun, Lulle tidak meminjam apapun
dari matematikanya, dan tidak pernah melihat sesuatu yang matematis dalam
prosedurnya sendiri. Pengembangan Al-Thusi ingin memberikan solusi matematis
bagi masalah emanasi keragaman dari Yang Maha Esa, yang mendorongnya melengkapi
doktrin Ibn Sina tentang penciptaan dengan kerangka kombinasi; sedangkan
Leibiniz ingin mengonstruksi Ars inveniendi berdasarkan basis kombinatorial.
No comments:
Post a Comment