Kita masih berada pada
tahap yang sangat awal dalam mencoba memahami yang Tuhan izinkan dan inginkan
saat kita melangkah maju dalam intervensi dan membentuk ulang alam. Tugas
paling mendesak yang kita hadapi adalah mengembangkan sebuah etika perskriptif
yang dijiwai dengan wawasan dan nilai-nilai religius. Saya yakin bahwa
sekaranglah saatnya para pemikir religius yang mewakili berbagai macam
komunitas, termasuk yang memiliki latar belakang Islam, untuk duduk bersama
dalam sebuah dialog dan agama guna meninjau berbagai pertanyaan mendasar
tentang kehidupan dan hakikat manusia sebagaimana yang ditantang dan diterangi
oleh revolusi genetika. Saya yakin bahwa para pemikir Islam akan dituntunkan
dengan meninjau baik sumbangan maupun keterbatasan itu, di sini saya akan
mencoba berikan saran-saran secara garis besar.
Rekomendasi
pertama dan yang paling utama adalah pentingnya menggunakan sebuah metode yang
mendorong dilakukannya dialog dua arah sains dan agama, suatu dialog di mana
teolog dan etika bisa mendapatkan informasi dan
bahkan bisa diubah oleh konsep, informasi dan teori ilmiah. Proses ini
juga bisa menambah perkara dan mengembangkan cakrawala para ilmuwan untuk
memahami implikasi etis dan teologis dari penelitian mereka dan memberikan
tanggapan yang paling sesuai. Di sini dimungkinkan berlangsungnya semacam
dialog pada tingkat individu dan atau kelompok. Etika genetika religius yang
paling berhasil harus datang dari pemahaman tentang sains yang relevan. Dalam
beberapa kasus, para ilmuwan genetika telah membuat karya yang secara eksplisit
maupun bersama-sama dengan pemikir religius. Terdapat sejumlah proyek dialog
yang berhasil dengan mengumpulkan kelompok kerja multidisiplin linier.
Pembelajaran dan transformasi bersama semacam ini sudah berlangsung di dalam
beberapa proyek yang diadakan oleh Program Dialog tentang Sains, Etika dan
Agama dalam AAAS.
Akan
tetapi, di sini perlu ada satu peringatan. Semua penelitian, analisis, dan
upaya-upaya lintas disiplin untuk melakukan dialog harus berhadapan dengan
berbagai perbedaan dalam pendekatan metodologis, prioritas, dan kosakata di
dalam bidang-bidang tertentu. Garis batas yang memisahkan sains dan agama itu
cukup sulit untuk dilewati. Dari sisi tertentu, dialog sains - agama bisa
dibandingkan dengan penerjemahan dua bahasa dan dua kerangka tentang suatu
medan konseptual yang berlangsung serentak. Oleh sebab itu, dialog ilmu dan
agama adalah upaya yang sangat rumit dan menyita banyak waktu. Hal ini menuntut
waktu dan kesabaran, dan meminta sejumlah besar pembelajaran dan penerjemahan
konseptual yang melintas batas-batas antar disiplin.
Sebagai
contoh keberhasilan potensial dialog sains dan agama dalam genetika, belum lama
ini AAAS mensponsori proyek sekelompok peneliti lintas disiplin dengan
tantangan masalah-masalah etis dan teologis yang berkaitan dengan modifikasi
genetika manusia yang bisa diturunkan. Di dalam kelompok kerja ini terdapat
ahli-ahli etika religius dan ilmuwan dari berbagai latar belakang serta
beberapa anggota yang tidak bergabung dalam agama tertentu. Meskipun pada awalnya
sebagian besar ahli etika religius ini mencoba menggali terutama dari dalam
tradisi mereka sendiri, masalah yang mereka bahas itu benar-benar belum pernah
dipikirkan sebelumnya sehingga mereka berada di daerah tidak bertuan. Proses
penalaran moral di dalam kelompok ini dibantu oleh pemaparan perkembangan
ilmiah yang berlangsung terus dari orang-orang kunci dalam kegiatan ini. Di
sini juga terdapat analisis ulang dan perbaikan terus menerus mengenai
implikasi etis di masa depan. Selain itu, banyak para ilmuwan yang tenggelam di
dalam proses penajaman masalah etis, dan kadang-kadang di dalam kerangka
pemikir religius. Hasil akhirnya di dasarkan atas, tetapi mengatasi, kerangka
pemikiran awal dan pengalaman tiap-tiap
peserta, dan tampaknya akan mendapatkan posisi yang lebih kukuh karena hal ini
merupakan hasil dari proses yang begitu inklusif.
Rekomendasi
yang kedua adalah dibentuknya sebuah etika yang bersifat perspektif, bukannya
deskriptif. Sampai sekarang, sebagian besar literatur tentang etika yang ditulis
oleh para pemikir lebih banyak menitik beratkan pada upaya melakukan
identifikasi makna atas berbagai penemuan genetika atau menjelaskan
masalah-masalah yang dibangkitkannya dari pada memberikan panduan moral pada
masalah-masalah tertentu. Jika norma-norma yang relevan dalam menentukan
implikasi etisnya itu ditawarkan, norma-norma itu cenderung diberikan pada
suatu tingkat abstraksi tertentu sehingga sulit diterapkan sebagai panduan
untuk bertindak.
Rekomendasi
yang ketiga adalah mengembangkan kerangka dasar intelektual pada analisis etis
dan teologis sebelum melakukan evaluasi pada implikasi genetika tertentu.
Ajaran atau tema teologi tradisional, seperti masalah pemeliharaan, harga diri
manusia, dan identitas manusia, seperti pada konsep-konsep yang lebih baru
seperti umat manusia sebagai “mitra-pencipt yang diciptakan”, bisa memainkan
peranan penting dalam menstrukturkan penilaian pada implikasi teologis dan etis
dari pembaruan ilmiah atau teknologi tertentu. Akan tetapi, banyak dari konsep
religius ini terlalu abstrak dan terlalu banyak dibentuk oleh analisis
filosofis untuk bisa diterapkan pada sains dan teknologi. Oleh sebab itu, yang
sangat diperlukan di sini adalah upaya memikirkan ulang konsep-konsep ini
dengan cara yang memungkinkan mereka bisa diterapkan prinsip dasar dan norma.
Hal ini mensyaratkan dilakukannya penguraian konsep-konsep ini dan mengkaji apa
implikasi bagian-bagian dari konsep ini adalah merumuskan aksioma perantara
yang bisa menerapkan prinsip-prinsip dan norma-norma ini pada masalah kasus
tertentu. Aksioma perantara ini berfungsi sebagai yang lebih konkret dari pada
sebuah prinsip etis dan kurang spesifik dari pada program yang memuaskan
perundang-undangan dan strategi politik. Hal-hal ini adalah langkah-langkah
yang harus di ambil generasi-generasi berikut dalam melaksanakan kehendak
Tuhan.
Rekomendasi
yang keempat dan terakhir adalah melihat revolusi genetika secara utuh dari
pada menilai temuan-temuan penelitian dan teknologi secara sepotong-sepotong,
yang merupakan ciri khas tanggapan kaum Kristen. Menurut Ian Wilmot, ilmuwan
yang inovasi teknologinya menghasilkan Dolly, domba hasil kloning, kita telah
memasuki zaman “kendali biologis”. Pengujian genetik, terapi gen induk,
penyelesaian Proyek Genom Manusia, kloning, dan penelitian sel induk manusia
menawarkan kekuasaan yang semakin besar dalam mengendalikan proses biologis
dasar yang berlangsung pada manusia. Secara bersama-sama, semua perkembangan
ini memberikan dampak kumulatif yang menakjubkan pada pemahaman kita tentang diri
kita sendiri dan potensi yang kita miliki dalam membentuk masa depan manusia.
Di sini terdapat keuntungan dan kerugian dalam tertundanya proses analisis
teologis dan etis pada genetika di kalangan Islam. Salah satu keuntungannya
adalah kemampuan yang semakin besar dalam melihat secara keseluruhan dan
melakukannya dengan cara yang lebih bijak dan reflektif dari pada yang telah
berlangsung di lingkungan Kristen.
No comments:
Post a Comment