Rasionalitas Instrumental versus Kecenderungan Dogmatik



Jika kita mengetahui bahwa pengetahuan “intelektual” Islam menjauhkan diri dari pengetahuan yang ditransmisikan, kita dapat memulai memahami mengapa upaya ilmiah modern tidak pernah muncul dalam Islam. Sains memperoleh kekuasaannya dari penolak terhadap setiap jenis teleologi, pemisahan yang tegas antara subjek dan objek, penolakan untuk mengakui bahwa kesadaran lebih nyata dari pada fakta material, perhatian eksklusif pada wilayah indra, dan mengabaikan realitas tertinggi dan transenden. Rasionalitas instrumental pengetahuan ilmiah dapat muncul di Barat hanya setelah bayi dilemparkan bersama air mandinya. Setelah menolak air mandi teologi atau setidak-tidaknya relevansi dogma teologis bagi penyelidikan ilmiah para filosof dan saintis Barat juga menolak kebenaran tauhid menjadi huruf mati, masing-masing bidang pengetahuan dapat dipandang berdiri sendiri dari yang lainnya.

            Tentu rasionalitas instrumental tidak muncul secara tiba-tiba di Barat. Sejarah yang panjang dan kompleks secara gradual telah melahirkan sebuah pemisahan yang lebih tegas antara bidang akal dan bidang wahyu. Banyak saintis dan filosof tetap menjadi orang-orang kristen yang taat, tetapi hal ini tidak menghalangi mereka untuk menganggap bidang rasional bebas dari kecenderungan wahyu. Tepatnya, karena kecenderungan ini yang ditimpakan pada kaitan dogmatik dan historis pengetahuan yang ditransmisikan sehingga pemisahan antara akal dan wahyu dapat terjadi. Sebaliknya, tradisi intelektual Islam selalu berakar pada visi tentang tauhid, bukan pada dogma teologis yang dikondisikan secara historis. Apa pun yang dipersoalkan oleh para pemikir Muslim tentang sifat historis bahasa Arab, peristiwa yang mengitari kedatangan Muhammad, transmisi wahyu Al-Quran, dan penafsiran wahyu oleh para teolog dan kaum dogmatik, perdebatan ini tidak meragukan pandangan fundamental tentang tauhid, yang bagi mereka sudah sangat gamblang.
             Jadi kesimpulan pertama adalah : Banyak sejarawan telah mengaskan bahwa pengetahuan Islam Abad pertengahan merosot ketika para saintis Muslim lalai untuk membangun berdasarkan temuan awal mereka. Akan tetapi, yang demikian itu berarti membaca sejarah Islam dalam kaitannya dengan ideologi kemajuan yang pada gilirannya berakar pada saintisme kontemporer yang dimaksud adalah kepercayaan bahwa sains memiliki tingkat kesahihan yang sama dengan kebenaran yang di wahyukan. Saintisme telah memberikan arti penting yang mutlak kepada teori ilmiah, dan merelatifkan semua pendekatan lain terhadap pengetahuan, meskipun saintisme menganggap pendekatan lain itu tetap sah.
            Lebih jauh, para sejarawan yang berbicara secara garis besar tentang kemerosotan “sains” Islam mengabaikan dua konteks historis : Pertama, adalah konteks Islami, dalam arti : Aksioma tauhid memberesi semua upaya intelektual. Tauhid menyatakan kesalingterkaitan segala sesuatu, karena ia menegaskan bahwa segala sesuatu secara terus menerus ditopang dan dipelihara oleh prinsip pertama, dan segala sesuatu kembali ke prinsip pertama. Mengingat bahwa para intelektual Muslim melihat segala sesuatu bermula, berkembang, dan berakhir dalam batas Sumber Yang Esa, mereka memilah milah bidang-bidang realitas sebagai hal-hal yang semata-mata tentatif. Mereka tidak dapat memisahkan pengetahuan tentang kosmos dari pengetahuan Tuhan, atau dari pengetahuan tentang jiwa manusia. Mustahil bagi mereka yang membayangkan dunia dan diri terpisah satu sama lain dari Prinsip Yang Esa. Sebaliknya, semakin dalam mereka meneliti alam semesta, maka semakin jelas mereka melihatnya memanifestasikan prinsip-prinsip tauhid dan hakikat diri manusia. Mereka menyepakati Tu Weiming, yang menulis “Melihat alam sebagai objek eksternal di luar sana berarti menciptakan rintangan artifisial yang menghalangi visi kita yang sebenarnya dan mengurangi kemampuan kita untuk mengalami alam dari dalam”.
            Konteks kedua yang diabaikan orang ketika mereka mengklaim bahwa tradisi intelektual Muslim adalah konteks kristen. Peradaban kristen, memang sebenarnya merosot, karena ia mengalami gangguan pandangan dunia sintetik dan kemunduran Platonisme Kristen. Kita dengan mudah dapat mengatakan bahwa kemundurannya jauh lebih serius dibandingkan dengan peradaban Islam. Sebagian sebab kemundurannya dan munculnya kembali pandangan dunia sekuler dan ilmiah adalah bahwa sifat kecenderungan keagamaan dasar yang ditransmisikan kristen tidak mampu bertahan dari pernyataan kritis oleh para pemikir non-dogmatik. Dalam kasus Islam, para intelektual Muslim tidak bergantung pada wahyu dan transmisi untuk memahami tauhid, sehingga perselisihan teologis dan ketidakpastian historis tidak dapat dipandang telah menggeser visi dasar akan realitas.
            Untuk mencegah kesalahpahaman, mungkin perlu ditegaskan di sini bahwa memang ingin menunjukkan bahwa para filosof Muslim tidak menolak Muhammad sebagai nabi mereka dan Al-Quran sebagai buku petunjuk mereka. Singkatnya, mereka tidak melihat alasan untuk mempertanyakan basis dogmatis pengetahuan ajakan keagamaan berguna bagi setiap orang, dan tentu juga bagi orang awam. Namun hikmah pengetahuan intelektual sejati sesuai dengan wataknya, memang dikhususkan bagi orang-orang yang berkualifikasi demokratis dan elitis ini bersumber pada fakta mereka tentang realitas sosial. Mereka memandang manusia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang mereka kehendaki.

Share:
Read More

Implikasi Bagi Analisis Perkembangan Genetik Menurut Islam



Kita masih berada pada tahap yang sangat awal dalam mencoba memahami yang Tuhan izinkan dan inginkan saat kita melangkah maju dalam intervensi dan membentuk ulang alam. Tugas paling mendesak yang kita hadapi adalah mengembangkan sebuah etika perskriptif yang dijiwai dengan wawasan dan nilai-nilai religius. Saya yakin bahwa sekaranglah saatnya para pemikir religius yang mewakili berbagai macam komunitas, termasuk yang memiliki latar belakang Islam, untuk duduk bersama dalam sebuah dialog dan agama guna meninjau berbagai pertanyaan mendasar tentang kehidupan dan hakikat manusia sebagaimana yang ditantang dan diterangi oleh revolusi genetika. Saya yakin bahwa para pemikir Islam akan dituntunkan dengan meninjau baik sumbangan maupun keterbatasan itu, di sini saya akan mencoba berikan saran-saran secara garis besar.
            Rekomendasi pertama dan yang paling utama adalah pentingnya menggunakan sebuah metode yang mendorong dilakukannya dialog dua arah sains dan agama, suatu dialog di mana teolog dan etika bisa mendapatkan informasi dan  bahkan bisa diubah oleh konsep, informasi dan teori ilmiah. Proses ini juga bisa menambah perkara dan mengembangkan cakrawala para ilmuwan untuk memahami implikasi etis dan teologis dari penelitian mereka dan memberikan tanggapan yang paling sesuai. Di sini dimungkinkan berlangsungnya semacam dialog pada tingkat individu dan atau kelompok. Etika genetika religius yang paling berhasil harus datang dari pemahaman tentang sains yang relevan. Dalam beberapa kasus, para ilmuwan genetika telah membuat karya yang secara eksplisit maupun bersama-sama dengan pemikir religius. Terdapat sejumlah proyek dialog yang berhasil dengan mengumpulkan kelompok kerja multidisiplin linier. Pembelajaran dan transformasi bersama semacam ini sudah berlangsung di dalam beberapa proyek yang diadakan oleh Program Dialog tentang Sains, Etika dan Agama dalam AAAS.

            Akan tetapi, di sini perlu ada satu peringatan. Semua penelitian, analisis, dan upaya-upaya lintas disiplin untuk melakukan dialog harus berhadapan dengan berbagai perbedaan dalam pendekatan metodologis, prioritas, dan kosakata di dalam bidang-bidang tertentu. Garis batas yang memisahkan sains dan agama itu cukup sulit untuk dilewati. Dari sisi tertentu, dialog sains - agama bisa dibandingkan dengan penerjemahan dua bahasa dan dua kerangka tentang suatu medan konseptual yang berlangsung serentak. Oleh sebab itu, dialog ilmu dan agama adalah upaya yang sangat rumit dan menyita banyak waktu. Hal ini menuntut waktu dan kesabaran, dan meminta sejumlah besar pembelajaran dan penerjemahan konseptual yang melintas batas-batas antar disiplin.
            Sebagai contoh keberhasilan potensial dialog sains dan agama dalam genetika, belum lama ini AAAS mensponsori proyek sekelompok peneliti lintas disiplin dengan tantangan masalah-masalah etis dan teologis yang berkaitan dengan modifikasi genetika manusia yang bisa diturunkan. Di dalam kelompok kerja ini terdapat ahli-ahli etika religius dan ilmuwan dari berbagai latar belakang serta beberapa anggota yang tidak bergabung dalam agama tertentu. Meskipun pada awalnya sebagian besar ahli etika religius ini mencoba menggali terutama dari dalam tradisi mereka sendiri, masalah yang mereka bahas itu benar-benar belum pernah dipikirkan sebelumnya sehingga mereka berada di daerah tidak bertuan. Proses penalaran moral di dalam kelompok ini dibantu oleh pemaparan perkembangan ilmiah yang berlangsung terus dari orang-orang kunci dalam kegiatan ini. Di sini juga terdapat analisis ulang dan perbaikan terus menerus mengenai implikasi etis di masa depan. Selain itu, banyak para ilmuwan yang tenggelam di dalam proses penajaman masalah etis, dan kadang-kadang di dalam kerangka pemikir religius. Hasil akhirnya di dasarkan atas, tetapi mengatasi, kerangka pemikiran awal dan pengalaman  tiap-tiap peserta, dan tampaknya akan mendapatkan posisi yang lebih kukuh karena hal ini merupakan hasil dari proses yang begitu inklusif.
            Rekomendasi yang kedua adalah dibentuknya sebuah etika yang bersifat perspektif, bukannya deskriptif. Sampai sekarang, sebagian besar literatur tentang etika yang ditulis oleh para pemikir lebih banyak menitik beratkan pada upaya melakukan identifikasi makna atas berbagai penemuan genetika atau menjelaskan masalah-masalah yang dibangkitkannya dari pada memberikan panduan moral pada masalah-masalah tertentu. Jika norma-norma yang relevan dalam menentukan implikasi etisnya itu ditawarkan, norma-norma itu cenderung diberikan pada suatu tingkat abstraksi tertentu sehingga sulit diterapkan sebagai panduan untuk bertindak.
            Rekomendasi yang ketiga adalah mengembangkan kerangka dasar intelektual pada analisis etis dan teologis sebelum melakukan evaluasi pada implikasi genetika tertentu. Ajaran atau tema teologi tradisional, seperti masalah pemeliharaan, harga diri manusia, dan identitas manusia, seperti pada konsep-konsep yang lebih baru seperti umat manusia sebagai “mitra-pencipt yang diciptakan”, bisa memainkan peranan penting dalam menstrukturkan penilaian pada implikasi teologis dan etis dari pembaruan ilmiah atau teknologi tertentu. Akan tetapi, banyak dari konsep religius ini terlalu abstrak dan terlalu banyak dibentuk oleh analisis filosofis untuk bisa diterapkan pada sains dan teknologi. Oleh sebab itu, yang sangat diperlukan di sini adalah upaya memikirkan ulang konsep-konsep ini dengan cara yang memungkinkan mereka bisa diterapkan prinsip dasar dan norma. Hal ini mensyaratkan dilakukannya penguraian konsep-konsep ini dan mengkaji apa implikasi bagian-bagian dari konsep ini adalah merumuskan aksioma perantara yang bisa menerapkan prinsip-prinsip dan norma-norma ini pada masalah kasus tertentu. Aksioma perantara ini berfungsi sebagai yang lebih konkret dari pada sebuah prinsip etis dan kurang spesifik dari pada program yang memuaskan perundang-undangan dan strategi politik. Hal-hal ini adalah langkah-langkah yang harus di ambil generasi-generasi berikut dalam melaksanakan kehendak Tuhan.
            Rekomendasi yang keempat dan terakhir adalah melihat revolusi genetika secara utuh dari pada menilai temuan-temuan penelitian dan teknologi secara sepotong-sepotong, yang merupakan ciri khas tanggapan kaum Kristen. Menurut Ian Wilmot, ilmuwan yang inovasi teknologinya menghasilkan Dolly, domba hasil kloning, kita telah memasuki zaman “kendali biologis”. Pengujian genetik, terapi gen induk, penyelesaian Proyek Genom Manusia, kloning, dan penelitian sel induk manusia menawarkan kekuasaan yang semakin besar dalam mengendalikan proses biologis dasar yang berlangsung pada manusia. Secara bersama-sama, semua perkembangan ini memberikan dampak kumulatif yang menakjubkan pada pemahaman kita tentang diri kita sendiri dan potensi yang kita miliki dalam membentuk masa depan manusia. Di sini terdapat keuntungan dan kerugian dalam tertundanya proses analisis teologis dan etis pada genetika di kalangan Islam. Salah satu keuntungannya adalah kemampuan yang semakin besar dalam melihat secara keseluruhan dan melakukannya dengan cara yang lebih bijak dan reflektif dari pada yang telah berlangsung di lingkungan Kristen.
           

           

Share:
Read More