Hampir tidak ada masalah
yang begitu problematis dan vital bagi Dunia Islam kontemporer seperti halnya
masalah sains modern. Semenjak pertemuannya dengan sains Barat modern pada abad
ke-18 dan 19, Dunia Islam harus
berurusan dengan sains karena alasan-alasan praktis dan intelektual. Pada
tingkatan kebutuhan praktis, sains modern dipandang sebagai sine que non kemajuan dana pertahanan
negara-negara Muslim dalam bidang teknologi militer. Penguasa ‘Utsmani’ yang
tidak seperti wilayah Dunia Islam lainnya, berhubungan langsung dengan kekuatan
Eropa, yakin bahwa kemunduran politik dan militernyaa disebabkan oleh tiadanya
mekanisme pertahanan yang semestinya terhadap tentara Eropa. Untuk memenuhi
kekosongan ini, sejumlah reformasi yang massif telah diajukan oleh Mahmmud
II dengan harapan dapat menghambat
jatuhnya Kerajaan, dan menciptakan golongan baru pejabat militer dan birokrat,
yang menjadi titik pertama kontak antara Dunia Islam tradisional dan Barat
sekuler modern. Proyek serupa, yang sebenarnya lebih berhasil telah
dipromosikan di Mesir oleh Mahmmud Ali yang aspirasinya kemudian disuarakan
kembali oleh Thaha Huassin dan generasinya. Motif utama periode ini adalah
motif kepraktisan yang luar biasa. Dunia Muslim membutuhkan kekuatan, terutama
kekuatan militer agar dapat kembali tegak dan teknologi baru yang digerakkan
oleh sains modern merupakan satu-satunya cara untuk meraihnya. Konsepsi modern
tentang sains sebagai media kekuatan, tentu memiliki dampak yang mendasar pada
hubungan antara Dunia Muslim dan sains modern, yang kemudian disamakan dengan
teknologi, kemajuan yang masih lazim di kalangan rakyat di Dunia Islam.
Tingkat
pertemuan kedua antara keyakinan tradisional dan sains modern bersifat
intelektual dengan konsekuensi abadi yang terpenting di antaranya adalah
pembentukan kembali persepsi diri tentang Dunia Islam. Dengan menggunakan
analisis Husserl atas Selbstverstandis,
istilah kunci dalam antropologi Husserl tentang “manusia Barat”, von Grunebaum
melihat diterimanya sains modern sebagai titik balik dalam pandangan dari
peristiwa zaman ini, yakni ketidakselarasan keyakinan tradisional dan
pendekatannya dalam sejarah. Salah satu tema yang di ulang-ulang dari peristiwa
zaman ini, yakni ketidakselarasan dengan sains modern, dengan tegas dikemukakan
dalam sebuah pidato oleh Ataturk (Bapak Turki Modern), yang menyadari betul
akan urgensi praktis Turki pascaperang kemerdekaan, dan dia terlibat aktif
dalam menciptakan identitas baru bagi masyarakat Turki.
Kita harus mengambil sains
dan pengetahuan dari manapun, dan menanamkannya di benak setiap anggota bangsa.
Demi sains dan pengetahuan, tidak ada pembatasan dan persyaratan bagi sebuah
bangsa yang bersikukuh mempertahankan tradisi dan keyakinan tidak berdasarkan
teori logis. Kemajuan pasti sangat sulit, mungkin malah mustahil.
Pada
skala yang relatif lebih kecil, benturan dunia Islam sekuler sains modern dan
pandangan dunia Islam tradisional disadari oleh banyak intelektual Muslim
dengan terbitnya ceramah Renan yang terkenal “L’Islamisme et la science”, yang disampaikan dengan di Sorbonne
pada tahun 1883. Dalam ceramah ini, dia dengan tegas menunjukkan irasionalitas
dan ketidakmampuan masyarakat Muslim melahirkan sains. Dewasa ini, serangan
semirasis Renan terhadap keimanan Islam dan seruan kasarnya terhadap
positivisme sebagai agama baru dunia modern tidak begitu berarti. Meskipun demikian,
serangan tersebut menjadi pembuka mata bagi para intelegensi Muslim tentang bagaimana prestasi sains Barat
modern muncul. Dipelopori oleh Jamal Al-Din Afghani di Persia dan Namik Kemal
di Kerajaan ‘Utsmani’, kaum terpelajar Muslim mengambil tugas terhadap sains
modern di tangan sebagai filosof anti-agama, dan menghasilkan wacana yang luas
tentang sains modern dengan segala semangat dan kekacuan zaman mereka yang
hiruk pikuk.
Sebagaimana
yang akan kita lihat nanti, Afghani antara lain, kemudian menjadi lambang kerangka
fikiran (Mind-set) zamannya ketika dia mendasarkan apologi historisnya terhadap
Renan pada asumsi bahwa tidak mungkin terdapat benturan antara agama dan sains,
baik tradisional maupun modern, dan bahwa sains Barat modern tidak lain dari
sains Islam asli yang dikirim kembali, melalui Renaisans dan pencerahan, ke
dunia Islam. Demikian juga, pada dasarnya tidak ada yang salah dengan sains
modern, dan tafsiran materialistik atas sains lah yang menjadi anti kontroversi
sains-agama.
Namik Kemal bergabung bersama Afghani
dengan bantahannya sendiri dalam karyanya, Renan Mudafanamesi (Bantahan
terhadap Renan), memfokuskan pada prestasi ilmiah bangsa Arab, yaitu negara-negara
Muslim masa lalu.
Berlawanan
dengan para intelektual Muslim yang mencoba menempatkan sains modern dalam
kenteks pandangan dunia Islam ini, sejumlah penulis kristen terkemuka di dunia
Arab, termasuk Jurji Zaidan (w. 1922), dan Ya’qub Sharruf (w.1927), mulai mendukung
pandangan sekuler terhadap sains modern sebagai cara untuk bergabung dengan
jalan modernisasi Eropa. Karena itu, mereka pada dasarnya mempromosikan
pendirian filosofis dan sekuler pada perdebatan yang terus menerus antara agama
dan sains.
Dua
pandangan ini masih dapat kita saksikan dewasa ini dan terus menggambarkan
ambisi sekaligus kegagalan Dunia Islam dalam hubungannya yang sulit dimengerti
dengan sains modern. Negaara-negara Islam membelanjakan miliaran dolar setiap
tahunnya untuk mentransfer teknologi sains, pendidikan dan program riset. Tujuan
yang ditetapkan oleh Kerajaan ‘Utsmani’ pada abad ke-19 kurang lebih tetap sama
memperoleh kekuatan melalui kemajuan teknologi. Lebih jauh, dampak finansial
antara sains dan teknologi, yang di awali dengan revolusi industri, membuat
semakin sulit mencari “sains murni”, dan perhatian utama bagi dunia Muslim maupun
Barat adalah teknologi, bukan sains. Keinginan negara-negara Islam untuk
berpartisipasi dalam proses modernisasi melalui transfer teknologi mengaburkan
dimensi filosofis masalah tersebut, yang mengarah pada jenis pemikiran
simplisitik dan reduksionis yang akan segera disinggung.
Mengenai
tantangan intelektual yang di kemukakan oleh sains modern, nyaris tidak bisa
dikatakan oleh sains modern, nyaris tidak bisa dikatakan telah berkurang atau
sirna karena hilangnya kekuasaan positivisme dan sekutunya di kalangan
orang-orang terpelajar. Ada situasi khusus dalam kemunculan filsafat sains baru
bersamaan dengan perkembangan baru dalam riset ilmiah, yang membentang dari
keruntuhan positivisme dan materialisme fisika hingga mekanika kuantum dan
antirealisme. Gelombang posmodernis telah mengguncangkan kepercayaan kita
terhadap sains dan dampaknya yang luas
dapat dirasakan jauh melampaui bidang ilmiah.
Akibatnya
banyak mahasiswa dan intelektual muda Muslim tidak melihat adanya persoalan
dengan adopsi pandangan relativis dan antirealiskhun atau Feyerabend. Bersamaan
dengan runtuhnya tanggul sains modern, diasumsikan bahwa agama dan sains
sekarang dapat mulai berdialog; yang terjadi adalah bahwa tidak ada
pendirian yang tegus karena keduanya
telah tercerabut dari nilai kebenarannya oleh filsafat antirealis dan relativis
zaman kita. Popularitas pembahasan filsafat sains dewasa ini di negara-negara
Muslim menjadi indikasi yang panjang di kalangan para intelegensi Muslim.
Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa Dunia Islam kontemporer tercengkeram oleh
tantangan dari dua sudut pandang yang berbeda tetapi terkait ini, yang membentuk
persepsinya tentang sains dalam sejumlah hal yang fundamental. Di satu sisi,
pemerintah dan elit penguasa negara-negara Islam melihatnya sebagai salah satu prioritas
utamanya sejalan dengan arena global inovasi teknologi, dari komunikasi dan
rekayasa medis hingga industri senjata dan teknologi satelit. Argumen-argumen
yang menentang sains-teknologi dipandang sebagai seruan menolak proses
modernisasi yang tak dapat dihindarkan, atau setidak-tidaknya seruan terhadap
keterbelakangan. Di sisi lain, telah menjadi kebijaksanaan bersama bahwa
konsekuensi penerapan sains alam modern pada bidang-bidang yang tidak pernah
terganggu sebelumnya menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan dan kehidupan
manusia. Ini dibarengi dengan ancaman sains modern menjadi pseudo agama pada zaman
ini, sehingga meminggirkan agama dari masyarakat modern atau setidak-tidaknya
menjadikan agama sebagai urusan pilihan personal dan etika sosial. Ini menciptakan
konflik kesadaran yang makin pahit di benak kaum Muslim, antara iman dan riset
ilmiah, dan antara melihat alam sebagai ayat-ayat Tuhan dan sebagai sumber
eksploitasi dan dominasi.
Jika
kita perhatikan wacana tentang sains saat ini di Dunia Islam, kita melihat
sejumlah kecenderungan dan pandangan yang saling berkompetisi, masing-masing
dengan klaim dan solusinya. Tanpa berpretensi mencakup keseluruhan,
kecenderungan-kecenderungan tersebut dapat diklarifikasi menjadi tiga kelompok
utama : pandangan Etis, Epistemologis, dan Ontologis/metafisis terhadap sains. Pandangan
etis/puritan terhadap sains, yang merupakan sikap yang paling umum di Dunia
Islam, memandang sains modern pada dasarnya netral dan objektif, yang membahas
buku alam sebagaimana adanya, tanpa komponen filosof atau ideologis yang terkait dengannya. Masalah-masalah
seperti krisis lingkungan, positivisme, materialisme, dan lain sebagainya, yang
semuanya terkait dengan sains modern dalam satu atau lain hal, dapat diatasi
dengan menambahkan dimensi etis ke dalam praktik dan pengajaran sains. Pandangan
kedua, yang disebut pandangan epistemologis, pada prinsipnya menaruh perhatian
pada status epistemik sains (Kealaman modern), klaim kebenaran, metode untuk
meraih pengetahuan yang benar dan fungsinya bagi masyarakat secara umum. Dengan
menganggap sains sebagai suatu konstruksi sosial, mazhab epistemik memberikan
penekanan khusus pada sejarah dan sosiologi sains. Terakhir, pandangan
ontologis/metafisis terhadap sains menandai peralihan yang menarik dari
filsafat ke metafisika sains. Klaimnya yang paling penting terletak pada
tuntutannya untuk menganalisis dasar metafisis dan ontologis dari sains (Kealaman).
Sebagaimana akan kita lihat nanti, mazhab inilah yang diwakili antara lain oleh
pemikir Muslim semisal Sayyed Hossein Nasr dan Naquib Al-Attas, yang
mengembalikan konsep tentang sains Islam, sebuah konsep yang telah melahirkan
banyak pembahasan sekaligus perdebatan dalam lingkungan intelektual Islam.